Derikanalis_Bukukunba, Kajang, Di bawah terik matahari Kajang yang tak pernah lelah membakar tanah, di Desa Bonto Baji, ada jalan yang baru saja lahir—tetapi sudah merintih.
Paving blok yang seharusnya menjadi saksi bisu pembangunan kini justru berbicara, meski dalam bahasa retak yang tak terdengar.
Masyarakat desa, yang semula menanti perubahan dengan harapan, kini bertanya-tanya: benarkah proyek ini untuk mereka? Ataukah hanya sekadar ilusi kemajuan yang digelar oleh segelintir orang yang lebih lihai bermain angka daripada membangun desa?
Swakelola yang Tak Menyentuh Rakyat
Kisah proyek ini bermula dari janji swakelola—sebuah sistem yang menjanjikan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Namun, alih-alih cangkul dan tangan-tangan petani yang menggarap jalan ini, yang tampak justru alat berat dan pekerja dari TPK, sebuah pihak ketiga yang tak berasal dari desa.
“Kami hanya mendengar kabarnya saja, tapi tak pernah dilibatkan,” bisik seorang warga, suaranya sarat dengan kekecewaan. “Swakelola macam apa ini, kalau bukan kami yang bekerja?”
Pekerjaan yang seharusnya membawa berkah bagi warga malah terasa asing. Tak ada wajah-wajah akrab yang mencangkul tanah, tak ada percakapan ringan di sela-sela istirahat. Hanya suara mesin dan debu yang berterbangan, menyisakan tanya yang menggantung di udara.
Anggaran yang Diduga Mengalir ke Saku ?
Lebih dari sekadar hilangnya partisipasi warga, proyek ini menyimpan cerita yang lebih pelik. Bukan hanya tenaga kerja yang dikelola secara sepihak, tetapi juga anggaran yang mengalir ke arah yang mencurigakan.
Desas-desus berhembus, mengatakan bahwa kepala desa membeli material langsung dari toko miliknya sendiri. Harga yang seharusnya bisa ditekan justru melambung, menari-nari di atas nota pembayaran yang mungkin tak pernah benar-benar diperiksa.
“Kalau benar seperti itu, ini bukan lagi sekadar kelalaian, tapi kesengajaan,” ujar Udin Karim, dari Pemuda Afiliasi Toleran Indonesia (PATI). “Bagaimana bisa desa membangun dengan dana yang kembali ke kantong pribadi?”
Pertanyaan ini menggantung di udara, tanpa jawaban, seperti keluhan masyarakat yang tak tahu harus disampaikan ke mana.
Jalan yang Retak, Harapan yang Pudar
Ketika pembangunan akhirnya rampung, harapan sempat bersemi. Namun, tak butuh waktu lama bagi kenyataan untuk menampar keras wajah optimisme itu. Paving blok yang baru saja terpasang sudah menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
Di beberapa titik, retakan menjalar seperti akar pohon tua yang mencari tempat untuk bersembunyi. Cor bekisting yang seharusnya kokoh malah menyerah begitu saja pada waktu.
“Kami menemukan dugaan banyak bagian yang tak sesuai dengan RAB,” lanjut Udin Karim. “Tanpa talud yang memadai, tanpa bekisting yang benar. Jika begini, tak lama lagi jalan ini akan hancur sebelum sempat dinikmati.”
Masyarakat hanya bisa menghela napas. Mereka yang berharap mendapatkan jalan yang layak kini hanya melihat proyek yang setengah hati.
Diam yang Menjawab Segalanya
Dugaan demi dugaan telah diangkat, suara-suara telah disuarakan. PATI pun mendesak agar Tipikor dan Inspektorat turun tangan, membuka tabir yang mulai tampak koyak.
Namun, hingga hari ini, kepala desa masih diam. Tak ada klarifikasi, tak ada bantahan, tak ada pembelaan. Diam yang bisa berarti banyak hal—bisa jadi pertanda bersalah, bisa pula sekadar menunggu badai reda.
Tetapi masyarakat tidak butuh jawaban dalam diam. Mereka butuh keadilan.
Paving blok di Bonto Baji mungkin memang telah selesai dikerjakan, tetapi pekerjaan lain baru saja dimulai: mencari kebenaran di antara retakan-retakan yang berbicara. (red)*